Cari Blog Ini

Laman

Minggu, 21 Februari 2010

MENINGITIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Diantaranya adalah meningitis purulenta yang juga merupakan penyakit infeksi perlu perhatian kita. Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piamater, arakhnoid dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. Sedang yang dimaksud meningitis purulenta adalah infeksi akut selaput otak yang disebabkan oleh bakteri dan menimbulkan reaksi purulen pada cairan otak. Penyakit ini lebih sering didapatkan pada anak daripada orang dewasa.
Disamping angka kematiannya yang masih tinggi. Banyak penderita yang menjadi cacat akibat keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan. Meningitis purulenta merupakan keadaan gawat darurat. Pemberian antibiotika yang cepat dan tepat serta dengan dosis yang memadai penting untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah terjadinya cacat.
Biarpun kuman mikrobakterium tuberkulosa paling sering menyebabkan infeksi paru-paru, tetapi infeksi pada susunan saraf pusat adalah yang paling berbahaya. Kekerapan meningitis tuberkulosa sebanding dengan prevalensi infeksi dengan mikrobakterium tuberkulosa pada umumnya, jadi bergantung pada keadaan sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Penyakit ini dapat terjadi pada segala umur, tetapi jarang dibawah 6 bulan. Yang tersering adalah pada anak-anak umur 6 bulan sampai 5 tahun.
Pada anak, meningitis tuberkulosa biasanya merupakan komplikasi infeksi primer dengan atau tanpa penyebaran milier. Pada orang dewasa penyakit ini dapat merupakan bentuk tersendiri atau bersamaan dengan tuberkulosis ditempat lain. Penyakit ini juga dapat menyebabkan kematian dan cacat bila pengobatan terlambat.
Dalam bukunya Brunner & Sudart, Meningitis selanjutnya diklasifikasikan sebagai asepsis, sepsis dan tuberkulosa. Meningitis aseptik mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis limfoma, leukemia, atau darah diruang subarakhnoid. Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri seperti meningokokus, stafilokokus atau basilus influenza. Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel. Infeksi meningeal umunya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, melalui salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti selulitis, atau penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatik tulang wajah. Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenik atau hasil sekunder prosedur invasif (seperti fungsi lumbal) atau alat-alat infasif (seperti alat pantau TIK).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada MENINGITIS
C. Sistematika Penulisan
Pada penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, setiap bab diuraikan secara singkat dan dalam bentuk makalah yakni :Bab satu terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri dari konsep dasar keperawatan dan asuhan keperawatan gawat darurat. Dan bab tiga berisi kesimpulan dan saran-saran.



BAB II
ISI
I. KONSEP DASAR TEORI
A. Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
B. Etiologi
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan
C. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
D. Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.
E. Manifestasi klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:


a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata
F. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi adalah ;
1) Gangguan pembekuan darah
2) Syok septic
3) Demam yang memanjang
G. Pemeriksaan Diagnostik

1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.
H. Penatalaksanaan Keperawatan
Adapun penatalaksanaan keperawatan menurut Brunner & suddath yaitu;

a. Pada semua tipe meningitis, status klinis pasien dan tanda-tanda vital dikaji terus menerus sesuai perubahan kesadaran yang dapat menimbulakn obstruksi jalan napas. Penemuan gas darah arteri, pemasangan selang endotrake (trakeostomi) dan penggunaan ventilasi mekanik.
b. Pantau tekanan arteri untuk mengkaji syok, uang mendahului gagal jantung dan pernapasan. Catat adanya vasokontriksi, sianosis yang menyebar, dan ekstremitas dingin. Demam yang tinggi diturunkan untuk menurunkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen otak.
c. Penggantian cairan intravena dapat diberikan, tetapi perawatan tidak dilakukan untuk melebihi hidrasi pasien karena risiko edema sereberal.
d. Berat badan, elektrolit serum, volume dan berat jenis urine, dan osmolalitas urine dipantau secara ketat, dan khusunya bila dicurigai hormon sekresi antidiuretik yng tidak tepat (ADH).
e. Penatalaksanaan keperawatan berkelanjutan memerlukan pengkajian yang terus menerus terhadap status klinis klien, pengkajian pada TTV (Tanda-Tanda Vital), Perhatikan terhadap kebersihan kulit dan mulut, serta peningkatan dan perlindungan selama kejang saat koma.
f. Rabas dari hidung dan mulut dipertimbangkan infeksius. Isolasi pernapasan dianjurkan sampai 24 jam setelah mulainya terapi antibiotik.
g.
II. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. Pengkajian
1. Airway
Tidak ada gangguan
2. Breathing
Peningkatan kerja pernafasan.
3. Circulation
Tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia,syok,koma dan hipotermi.
B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK
• Tanda – tanda vital dalam batas normal
• Tidak adanya penurunan kesadaran
Intervensi
a. Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK
b. Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart
c. Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
d. Pantau tekanan darah
e. Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan penglihatan kabur
f. Pantau suhu lingkungan
g. Pantau intake, output, turgor
h. Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
i. Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
j. tinggikan kepala 15-45 derajat
k. Berikan oksigen sesuai indikasi
l. Berikan obat sesuai indikasi

2) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari pathogen
Tujuan : tidak terjadi penyebaran infeksi
Kriteria Hasil : TTv dalam batas nosmal,tidak ada keluhan,
a. Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
b. Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
c. Pantau suhu secara teratur
d. Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
e. Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam
f. Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
g. Berikan terapi sesuai indikasi












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari maklah diatas adalah Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginos.Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita.Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.Dan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan
Pengkajan gawat darurat pada meningitis dakam asuhan keperawatannya adalah Airway : Tidak ada gangguan; Breathing :Peningkatan kerja pernafasan.Dan Circulation : Tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia,syok,koma dan hipotermi.
B. Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap/protokol yang dapat digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk klien.






DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.
2. Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
3. Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.
4. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.
5. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.
6. Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.

LUKA TUSUK ABDOMEN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka robek (vulnus laceratum) sering disertai luka lecet (excoriasis), yakni luka atau rusaknya jaringan kulit luar, akibat benturan dengan benda keras, seperti aspal jalan, bebatuan atau benda kasar lainnya. Sementara luka tusuk (vulnus functum), yakni luka yang disebabkan benda tajam seperti pisau, paku dan sebagainya. Biasanya pada luka tusuk, darah tidak keluar (keluar sedikit) kecuali benda penusuknya dicabut. Luka tusuk sangat berbahaya bila mengenai organ vital seperti paru, jantung, ginjal maupu abdomen.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah satunya adalah reaksi korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat menyebabkan lukanya menjadi tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan pada saat penusukan juga akan mempengaruhi. Beberapa pola luka yang dapat ditemukan :
1. Tusukan masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian ditusukkan kembali melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan tersebut luka tidak sesuai dengan gambaran biasanya dan lebih dari satu saluran dapat ditemui pada jaringan yang lebih dalam maupun pada organ.
2. Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke salah satu sudut, sehingga luka yang terbentuk lebih lebar dan memberikan luka pada permukaan kulit seperti ekor.
3. Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke arah lain, sehingga saluran luka menjadi lebih luas. Luka luar yang terlihat juga lebih luas dibandingkan dengan lebar senjata yang digunakan.
4. Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan mengggunakan titik terdalam sebagai landasan, sehingga saluran luka sempit pada titik terdalam dan terlebar pada bagian superfisial. Sehingga luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang digunakan.
5. Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut luka berbentuk ireguler dan besar.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada Luka Tusuk Abdomen

C. Sistematika Penulisan
Pada penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, setiap bab diuraikan secara singkat dan dalam bentuk makalah yakni :Bab satu terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri dari konsep dasar keperawatan dan asuhan keperawatan gawat darurat. Dan bab tiga berisi kesimpulan dan saran-saran.








BAB II
ISI
I. KONSEP DASAR TEORI
A. Pengertian Luka Tusuk Abdomen
Luka tusuk merupakan bagian dari trauma tajam yang mana luka tusuk masuk ke dalam jaringan tubuh dengan luka sayatan yang sering sangat kecil pada kulit, misalnya luka tusuk pisau. Berat ringannya luka tusuk tergantung dari dua faktor yaitu :
1.Lokasi anatomi injury
2.Kekuatan tusukan, perlu dipertimbangkan panjangnya benda yang digunakan untuk menusuk dan arah tusukan.
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
B. Etiologi dan Klasifikasi
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).
C. Patofisiologi
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :
a. Trauma tumpul abdomen
• Kehilangandarah.
• Memar/jejas pada dinding perut.
• Kerusakan organ-organ.
• Nyeri
• Iritasi cairan usus
b. Trauma tembus abdomen
• Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
• Respon stres simpatis
• Perdarahan dan pembekuan darah
• Kontaminasi bakteri
• Kematian sel
c. 1 & 2 menyebabkan :
• Kerusakan integritas kulit
• Syok dan perdarahan
• Kerusakan pertukaran gas
• Risiko tinggi terhadap infeksi
• Nyeri akut (FKUI, 1995).
D. Tanda dan Gejala
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
• Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
• Respon stres simpatis
• Perdarahan dan pembekuan darah
• Kontaminasi bakteri
• Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
• Kehilangan darah.
• Memar/jejas pada dinding perut.
Kerusakan organ-organ
• Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
• Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
E. Komplikasi
Segera :hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat :infeksi (Smeltzer, 2001).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).
G. Penatalaksanaan
a. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
b. menilai urin yang keluar (perdarahan).
c. Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Data
DasarPemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.
Pengkajian data dasar menurut Doenges (2000), adalah:
1. Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera (trauma)
2. Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas(hipoventilasi, hiperventilasi, dll),
3. Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenangatau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus ataumengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahanSelera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori.
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma,perubahan status mental,Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas danlokasi yang berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih
8. PernafasanData Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangg kognitif.Gangguan rentang gerak.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.

C. Implementasi dan Intervensi
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh. R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement. R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik. R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll. R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
• Nyeri berkurang atau hilang
• Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri \R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
• perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
• pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
• Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup. R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
• penampilan yang seimbang..
• melakukan pergerakkan dan perpindahan.
• mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu. R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.


D. EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal

III. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat Apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakuakan prosedur ABC jika ada indikasi, Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
a. Airway
Muntah darah
b. Breathing
Nafas tersengal-sengal
c. Circulation
Pendarahan,syok,
B. Diagnosa dan Intervensi keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit b/d perdarahan
Tujuan : terjadi keseimbangan cairan
Kriteria hasil : volume cairan terpenuhi,TTV dalam batas normal
Intervensi
a. Kaji TTV
b. Pantau cairan parenteral dan elektrolit,antibiotic dan vitamin
c. Kaji tetesan infuse
d. Kolaborasi pemberian cairan parenteral
e. Transfusi darah
2. Nyeri b/d Luka penitrasi abdomen
Tujuan : Nyeri teratasi
Kriteria Hasil : Nyeri berkuran / terkontrol,TTV dalam batas normal, ekspresi wajah rileks.
Intervensi :
a. Kaji karakteristik nyeri
b. Memberikan posisi yang nyaman
c. Ajarkan teknik relaksasi
d. Kolaborasi pemberian obat











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka tusuk merupakan bagian dari trauma tajam yang mana luka tusuk masuk ke dalam jaringan tubuh dengan luka sayatan yang sering sangat kecil pada kulit, misalnya luka tusuk pisau.
Tanda dan gejala luka tusuk abdomen terdiri dari dua yaitu adanya Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, Perdarahan dan pembekuan darah,Kontaminasi bakteri danKematian sel. Kemudian adanya Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium) berupa Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, Kerusakan organ-organ, nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut dan Iritasi cairan usus .
Adapun pengkajian yang terpenting untuk asuhan kegawat daruratan adalah Airway : Muntah darah; Breathing: Nafas tersengal-sengal dan Circulation :Pendarahan,syok.
B. Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap/protokol yang dapat digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk klien.





DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidayat. 1997, Buku Ajar Bedah, EC, Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6, EGC ; Jakarta.
Mansjoer,Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media

GAGAL GINJAL AKUT (GGA)

BAB I
PENDAHULUAN
I. KONSEP DASAR TEORI
A. Latar Belakang
Indonesia ada sikap seakan - akan pasrah dalam menghadapi masalah korban Gawat Darurat. Kalau ada orang meninggal / cacat kita cenderung menganggapnya sebagai nasib atau sudah merupakan kehendak Tuhan. Sebenarnya angka kejadian, kematian dan kecacatan dapat di cegah dan di turunkan bila kita memahami cara- cara penanggulangan Kegawat Daruratan. Prinsip umum penanganan penderita gawat darurat GGA adalah penilaian keadaan penderita yang cepat dan penanganan yang tepat, disini harus selalu diingat bahwa :
• Kematian oleh karena sumbatan jalan nafas akan lebih cepat dari pada ketidakmampuan bernafas.
• Kematian oleh karena ketidakmampuan bernafas akan lebih cepat daripada oleh karena kehilangan darah.
• Kematian oleh karena kehilangan darah akan lebih cepat daripada oleh karena penyebab intra cranial
Di Amerika diperkirakan 20 juta orang mengalami gagal ginjal akut. Dari jumlah tersebut, pasien yang dianalisis pada tahun 1988 sebanyak 320.000 orang, pada tahun 2010 akan meningkat menjadi 650.000 orang. Di Indonesia pada tahun 1998 jumlah penderita yang menjalani hemodialisa sekitar 3000 orang, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 10.000 orang (Kresnawan,T.,2007.Nutrisi tepat yang tepat bagi penderita ginjal kronik.Diakses 12 Agustus 2007, dari (http://www.ikcc.or.id/content.php?c=1&d=256).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada Gagal Ginjal Akut (GGA)
C. Sistematika Penulisan
Pada penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, setiap bab diuraikan secara singkat dan dalam bentuk makalah yakni :Bab satu terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri dari konsep dasar keperawatan dan asuhan keperawatan gawat darurat. Danbab tiga berisi kesimpulan dan saran-saran.

















BAB II
ISI
A. DEFINISI
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. (Davidson 1984).Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba, sering kali dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta asidosis metabolic dan hiperkalemia. ( D. Thomson 1992 : 91 )
B. Anatomi
Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter,kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra
C. Fisiologi
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah ”menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Fungsi :
1. Bertugas sebagai sistem filter/saringan, membuang ”sampah”.
2. Menjaga keseimbangan cairan tubuh.
3. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah
4. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.
5. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.

D. Etiologi
Brunner & Suddarth (2002) menyatakan tiga kategori utama penyebab gagal ginjal akut antara lain:
1. Prarenal (hipoperfusi ginjal).
Kondisi klinis yang umum adalah status penipisan volume misalnya karena kekurangan cairan mendadak (dehidrasi) seperti pada pasien muntaber yang berat atau kehilangan darah yang banyak (Lumenta & Nefro, 2004 :65), vasodilatasi (sepsi dan anafilaksis), gangguan fungsi jantung (infark miokardium, gagal jantung kongestif, syok kardiogenik).
2. Intrarenal
Penyebabnya adalah akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus ginjal. Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat benturan, infeksi, agen nefrotoksik, adanya hemoglobin dan mioglobin akibat cedera terbakar mengakibatkan toksik renal/ iskemia atau keduanya, transfusi terus menerus dan pemakaian obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID).
3. Pasca renal
Yang termasuk kondisi penyebab pascarenal antara lain : Obstruksi traktus urinarius, batu, tumor, BPH, striktur uretra dan bekuan darah. (Brunner & Suddarth, 2002: 1444).
E. Patofisiologi
Pathofisiologi GGA pada pre renal;
Pe ↓ perfusi ginjal

Pe ↓ aliran darah ke ginjal

Pe ↓ LFG

Pe ↑ fraksi dari filtrate yang dieabsorbsi pada tubulus proximal

Pe ↓ flow urin

Retensi Natrium

Edema

2. Pathofisiologi GGA pada renal;
Pe ↓ tekanan filtrasi dan konstriksi arteriol ginjal

Pe ↓ permiabilitas glomerulus

Pe ↑ permiabilitas tubulus proksimal dengan kebocoran filtrate

Obstruksi aliran urin karena nekrotik sel-sel tubular

Pe ↑ Natrium di macula densa

Pe ↑ pembentukan renin-angiotensin

Vasokonstriksi pada tingkat glomerular

3. Pathofisiologi GGA pada post renal;

Obstruksi saluran kemih

Urin statis, tidak dapat melewati saluran kemih

Kongesti

Tekanan retrograde melalui system koligentes dan nefron

Pe ↓ LFG

Pe ↑ reasorbsi Na, air dan urea

Pe ↓ natrium dalam urin

Pe ↑ kreatinin

Tekanan yang lama menyebabkan dilatasi system koligentes

Kerusakan nefron


F. Komplikasi
1. ATN
2. Asidosis metabolic
3. Hiperkalemi
4. Diuresis air dan natrium
5. Sindroma uremik
G. Manifestasi Klinis
1. Pre renal
Klien akan menunjukkan gejala seperti : hipotensi, takhikardi, penurunan haluaran urine, penurunan cardiac output dan tekanan vena sentral (CPV), letargi.
2. Intra renal
Klien akan menunjukkan gejala: oliguria atau anuria, edema, takhikardi, nafas pendek, distensi vena jugularis, peningkatan berat badan, bunyi nafas rales atau crackles, anoreksia, nausea, mual muntah, letargi atau mengalami tingkat kesadaran yang bervariasi, abnormalitas elektrolit kadang-kadang terjadi.
3. Pascarenal
Klien mungkin akan memperlihatkan perbaikan. Perawat harus tetap memonitor adanya oliguria atau anuria intermitten, gejala uremia dan letargi.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mencakup: serum elektrolit ( potasium, sodium, kalsium dan pospat), Hb (klien dengan CRA pada umumnya tidak memperlihatkan anemia berat), sedimen urine (sel darah merah), mioglobin atau hemoglobin dan elektrolit lain.
2. Radiography
Radiologi digunakan untuk mengetahui ukuran ginjal, melihat adanya obstruksi di renal pelvis, ureter dan ginjal. CT (Computed tomographic (CT) scans tanpa zat kontras dapat dilakukan untuk mengetahui adanya obstruksi atau tumor. Kontras media dapat digunakan untuk mengetahui adanya trauma ginjal. Arterialangiography mungkin diperlukan untuk mengetahui pembuluh darah ginjal dan aliran darah.
3. Pemeriksaan lain
Biopsi ginjal mungkin diperlukan bila penyebab utama belum bisa ditegakkan.
I. Penatalaksanaan
1. Pengobatan dan diálisis
Tujuan dari pengobatan adalah menemukan dan mengobati penyebab dari gagal ginjal akut. Selain itu pengobatan dipusatkan untuk mencegah penimbunan cairan dan limbah metabolik yang berlebihan. Antibiotik bisa diberikan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Untuk meningkatkan jumlah cairan yang dibuang melalui ginjal, bisa diberikan diuretik. Kadang diberikan natrium polistiren sulfonat untuk mengatasi hiperkalemia. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Untuk membuang kelebihan cairan dan limbah metabolik bisa dilakukan dialisa. Dengan dialisa penderita akan merasa lebih baik dan lebih mudah untuk mengendalikan gagal ginjal. Dialisa tidak harus dijalani oleh setiap penderita, tetapi sering dapat memperpanjang harapan hidup penderita, terutama jika kadar kalium serumnya sangat tinggi. Indikasi dilakukannya dialisa adalah: - Keadaan mental menurun - Perikarditis - Hiperkalemia - Anuria - Cairan yang berlebihan - Kadar kreatinin > 10 mg/dL dan BUN > 120 mg/dL.
2. Pertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbangan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukan dan haluaran oral dan parenteral dari urin, drainase lambung, feses dan drainase luka serta respirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan. Cairan yang hilang melalui kulit dan paru dan hilang sebagai akibat dari proses metabolisme normal juga dipertimbangkan dalam penatalaksanaan cairan.
3. Pertimbangan nutrisi
Diet protein dibatasi sampai 1 g/kg selama fase oliguria untuk menurunkan pemecahan protein dan mencegah akumulasi produk akhir toksik Kebutuhan kalori dipenuhi dengan pemberian diet tinggi karbohidrat, karena karbohidrat memiliki efek terhadap protein yang luas (pada diet tinggi karbohidrat, protein tidak dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi dibagi untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan). Makanan dan cairan yang mengandung kalium dan fosfat ( pisang, buah, jus jeruk dan kopi) dibatasi. Masukan kalium biasanya dibatasi sampai 2 g/ hari.
J. Pencegahan
Pasien-pasien yang mengkonsumsi agen potensial nefrotoksik fungsi ginjalnya harus dipantau dengan mengevaluasi kadar BUN dan kreatinin serum dalam 24 jam sejak terapi medikasi diberikan. Setiap agen yang menurunkan aliran arah normal (misalnya pengunaan analgesik kronik) dapat menyebabkan insufisiensi renal. Peningkatan usia pada penderita penyakit ginjal dan pemberian beberapa agen nefrotoksisk secara bersamaan meningkatkan resiko kerusakan ginjal.
Tindakan pencegahan lain diambil untuk menghindasi komplikasi renal mencakup hidrasi yang adekuat untuk pasien beresiko, pengenalan dan penanganan syok, hipotensi, infeksi pemantauan fungsi renal, haluaran urin, tekanan arteri dan vena sentral perawatan kateter luka dan transfusi.
II. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARUDAT
1. Pengkajian
1. Pengkajian primer / primary survey
• Airway
o Peningkatan sekresi pernapasan
o Adanya benda asing pada saluran pernapasan
o Adanya bunyi napas yang disebabkan oleh sumbatan jalan nafas
• Breathing
o Pola dan frekuensi pernapasan
o Pengembangan dada simitri atau tidak
o Penggunaan otot bantu pernapasan
o Adanya retraksi interkosta
• Circulation
o Capiberefil / CRT (3-4 detik)
o Adanya sianosis
o Frekuensi nadi
o Tekanan darah (normal / abnormal)
o Adakah tanda tanda syok
• Disability
o Tingkat kesadaran
• Kualitatif Exposure
• Pemeriksaan menyeluruh terhadap cidera ataupun gambaran fraktur, jejas dll
Dampak penurunan kadar hormon dalam tubuh sangat bervariasi, oleh karena itu lakukanlah pengkajian terhadap ha1-ha1 penting yang dapat menggali sebanyak mungkin informasi antara lain
o (composmentis)
o Kuantitatif (GCS)
1. Riwayat kesehatan klien dan keluarga. Sejak kapan klien menderita penyakit tersebut dan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
2. Kebiasaan hidup sehari-hari seperti
a. Pola makan
b. Pola tidur (klien menghabiskan banyak waktu untuk tidur).
c. Pola aktivitas.
3. Tempt tinggal klien sekarang dan pada waktu balita.
4. Keluhan utama klien, mencakup gangguan pada berbagai sistem tubuh;
1. Sistem pulmonari
2. Sistem pencernaan
3. Sistem kardiovaslkuler
4. Sistem muskuloskeletal
5. Sistem neurologik dan Emosi/psikologis
6. Sistem reproduksi
7. Metabolik
5. Pemeriksaan fisik mencakup
1. Penampilan secara umum; amati wajah klien terhadap adanya edema sekitar mata, wajah bulan dan ekspresi wajah kosong serta roman wajah kasar. Lidah tampak menebal dan gerak-gerik klien sangat lamban. Postur tubuh keen dan pendek. Kulit kasar, tebal dan berisik, dingin dan pucat.
2. Nadi lambat dan suhu tubuh menurun:
3. Perbesaran jantung
4. Disritmia dan hipotensi
5. Parastesia dan reflek tendon menurun
6. Pengkajian psikososial klien sangat sulit membina hubungan sasial dengan lingkungannya, mengurung diri/bahkan mania. Keluarga mengeluh klien sangat malas beraktivitas, dan ingin tidur sepanjang hari. Kajilah bagaimana konsep diri klien mencakup kelima komponen konsep diri
7. Pemeriksaan penunjang mencakup; pemeriksaan kadar T3 dan T4 serum; pemeriksaan TSH (pada klien dengan hipotiroidisme primer akan terjadi peningkatan TSH serum, sedangkan pada yang sekunder kadar TSH dapat menurun atau normal).
2. Diagnosa keperawatan
1. perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hipovolemmia sekunder terhadap GGA dan iskemia ginjal sekunder terhadap glomerulonefritis akut.
tujuan : pasien akan stabil secara hemodinamik
intervensi :
• pantau TD, pernafasan, tekanan arteri pulmonary, tekanan desak pulmonary, tekanan vena sentral, curah jantung, indeks jantung, setiap jam sampai stabil kemudian setiap 2 jam
• pantau laporan laboratorium (Na, K, Hb)
• Pantau terhadap kekeringan membran mukosa
• Pertahankan catatan asupan dan haluaran
• Berikan cairan/ transfusi sesuai program dokter
• Pantau kelebihan darah dan reaksi transfusi
• Pantau tanda-tanda dan gejala-gejala hiponatremia dan hiperkalemia (cat EKG)
• Pantau haluaran urine untuk volume yang adekuat setiap jam
• Periksa berat jenis urine tiap pergantian dinas segera laporkan bila ada abnormalitas segera laporkan…!!!!
• Lakukan tindakan meningkatkan sirkulasi
• Pantau suhu dan warna kulit setiap jam
• Pantau adanya perubahan fungsi mental
• Orientasikan kembali terhadap realita sesering mungkin.
2. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan filtrasi buruk dan masukan intravena
Tujuan : pasien akan mempertahankan keseimbangan cairan
Intervensi
• Amati haluaran urine
• Kaji dan catat masukan dan haluaran
• Kaji urine terhadap hematuria, berat jenis
• Kaji bunyi paru terhadap krakkles dan edema perifer.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan GGA
Tujuan : Pasien tidak akan mendapat infeksi nasokomial
Intervensi
• Amati tanda-tanda dan gejala infeksi
• Pantau frekuensi pernafasan
• Amati tempat tusukan infus terhadap tanda-tanda inflamasi
• Ubah posisi, nafas dalam setiap 2 jam
4. Resiko tinggi terhadap cidera yang berhubungan dengan anemia sekunder terhadap gagal ginjal
Tujuan : pasien tidak akan mengalami anemia
intervensi
A. Pantau Hb dan Ht
B. Amati tanda – tanda perdarahan
C. Amati gejala – gejala anemia
D. Berikan nutrisi dan isthirahat yang adekuat.









BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia..
Peningkatan kadar kreatinin juga bisa disebabkan oleh obat-obatan (misalnya cimetidin dan trimehoprim) yang menghambat sekresi tubular ginjal. Peningkatan tingkat BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid, pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang hati-hati dalam menentukan apakah seseorang terkena kerusakan ginjal atau tidak
B. Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap/protokol yang dapat digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk klien.




DAFTAR PUSTAKA

1. Anderton,J.L,dkk. 1992. Nefrologi.Jakarta:Hipokrates
Price,SA.1995. Patofisiologi. Jakarta: EGC
2. Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC, Jakarta, 1999.

HIPOGLIKEMIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal-rendah) terjadi kalau kadar glukosa turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Pada hipoglikemia berat (kadar glukosa darah hingga di bawah 10 mg/dl), dapat terjadi serangan kejang bahkan dapat terjadi koma (koma hipoglikemik).
Pada sebagian besar kasus koma hipoglikemik yang ditemukan di tempat pelayanan kesehatan umum (klinik/RS) penyebab utamanya adalah karena terapi pemberian insulin pada pasien penderita diabetes mellitus. Pada penelitian survey yang dilakukan oleh Department of Neurology and Neurological Sciences, and Program in Neurosciences, Stanford University School of Medicine,terdapat setidaknya 93,2% penyebab masuknya seseorang dengan gejala koma hipoglikemik adalah mereka yang menderita diabetes mellitus dan telah menjalani terapi pemberian insulin pada rentang waktu sekitar 1,5 tahunan.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada HIPOGLIKEMIA.

C. Sistematika Penulisan
Pada penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, setiap bab diuraikan secara singkat dan dalam bentuk makalah yakni :Bab satu terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri dari konsep dasar keperawatan dan asuhan keperawatan gawat darurat. Dan bab tiga berisi kesimpulan dan saran-saran.







BAB II
ISI

A. KONSEP DASAR TEORI
1 Pengertian
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl. Adapun batasan hipoglikemia adalah:
• Hipoglikemi murni : ada gejala hipoglikemi, glukosa darah < 60 mg/dl
• Reaksi hipoglikemi : gejala hipoglikemi bila gula darah turun mendadak, misalnya dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl
• Koma hipoglikemi : koma akibat gula darah < 30 mg/dl
• Hipoglikemi reaktif : gejala hipoglikemi yang terjadi 3 – 5 jam sesudah makan
2. Anatomi Fisiologi
1. Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Peristiwa glukoneogenesis berperan penting dalam penyediaan energi bagi kebutuhan tubuh, khususnya sistem saraf dan peredaran darah (eritrosit). Kegagalan glukoneogenesis berakibat FATAL, yaitu terjadinya DISFUNGSI OTAK yang berakibat KOMA dan kematian. Hal ini terjadi bilamana kadar glukosa darah berada di bawah nilai kritis. Nilai normal laboratoris dari glukosa dalam darah ialah : 65 – 110 ml/dL atau 3.6 – 6.1 mmol/L. Setelah penyerapan makanan kadar glukosa darah pada manusia berkisar antara 4.5 – 5.5 mmol/L. Jika orang tersebut makan karbohidrat kadarnya akan naik menjadi sekitar 6.5 – 7.2 mmol/L. Saat puasa kadar glukosa darah turun berkisar 3.3 – 3.9 mmol/L.
Pengaturan kadar glukosa darah dilakukan melalui mekanisme metabolik dan hormonal. pengaturan tersebut termasuk bagian dari homeostatik. Aktivitas metabolik yang mengatur kadar glukosa darah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : (1) Mutu dan Jumlah Glikolisis dan glukoneogenesis, (2) Aktivitas enzim-enzim, seperti glukokinase dan heksokinase.hormon penting yang memainkan peranan sentral dalam pengaturan kadar glukosa darah adalah insulin. insulin dihasilkan dari sel-sel b dari pulau-pulau langerhans pankreas dan disekresikan langsung ke dalam darah sebagai reaksi langsung bila keadaan hiperglikemia.
Proses pelepasan insulin dari sel B pulau Langerhans Pankreas dijelaskan sebagi berikut :
• Glukosa dengan bebas dapat memasuki sel-sel B Langerhans karena adanya Transporter glut 2. glukosa kemudian difosforilasi oleh enzim glukokinase yang kadarnya tinggi. Konsentrasi glukosa darah mempengaruhi kecepatan pembentukan ATP dari proses glikolisis, glukoneogenesis, siklus Kreb dan Electron Transport System di mitokondria.
• Peningkatan produksi ATP akan menghambat pompa kalium ( K+ pump) sehingga membran sel-sel B mengalami depolarisasi sehingga ion-ion Kalsium ( Ca2+ ) masuk ke dalam membran dan mendorong terjadinya eksositosis insulin. Selanjutnya insulin dibawa darah dan mengubah glukosa yang kadarnya tinggi menjadi glikogen.
• Enzim yang kerjanya berlawanan dengan insulin adalah glukagon. glukoagon dihasilkan oleh sel-sel a langerhans pankreas. sekresi hormon ini distimulasi oleh keadaan hipoglikemia. bila glukoagon yang dibawa darah sampai di hepar maka akan mengaktifkan kerja enzim fosforilase sehingga mendorong terjadinya glukoneogenesis.
2. Otak Mengatur Asupan Makanan
2. Etiologi
1. Hipoglikemia pada DM stadium mellitus (DM)
2. Hipoglikemia dalam rangka pengobatan
a. penggunaan insulin
b. penggunaan sulfonylurea
c. bayi yang lahir dari ibu pasien DM
3. Hipoglikemia yang tidak berkaitan dengan DM
a. hiperinsulinisme alimenter paska gastrektomi
b. insulinoma
c. penyakit hati berat
d. tumor ekstrapan kreatik: vibrosarkoma, karsinoma ginjal
e. hipopituitarisme
3. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat pengobatan insulin atau sulfonilutea.
1) factor-faktor yang berkaitan dengan pasien
• pengurangan atau keterlambatan makan
• kesalahan dosis obat
• pelatihan jasmani yang berlebihan
• perubahan tempat penyuntikan insulin
• penurunan kebutuhan insulin
• hari-hari pertama persalinan
• penyakit hati berat
• gastroparesis diabetic

2) factor yang berkaitan dengan dokter
• pengendalian gula darah yang tepat
• pemberian obat obat yang mempnyai potensi hipoglikemik
• penggantian jenis insulin
4. Patofisologi
Ketergantungan otak setiap saat pada glukosa yang disuplai oleh sirkulasi diakibatkan oleh ketidak mampuan otak untuk membakar asam lemak berantai panjang, kurangnya simpanan glukosa sebagai glikogen didalam otak orang dewasa, dan ketidak tersediaan keton dalam fase makan atau posabsorbtif.

Puasa / intake kurang

Glikogenolisis

Deficit glikogen pada hepar

Gula darah menurun < 60 mg/dl

Penurunan nutrisi jaringan otak

Respon SSP


Respon Otak Respon Vegetatif
 
Kortek serebri Pelepasan norepinefrin &
kurang suplai energi ( < 50mg/dl) adrenalin
 

Kekaburan yang dirasa dikepala Takikardia, pucat, gemetar,
Sulit konsentrasi / berfikir berkeringat
Gemetar 
Kepala terasa melayang Tidak sadar
Gangguan proses berfikir Stupor, kejang, koma

5. Manifestasi Klinis
Gejala gejala hipoglikemia terdiri dari dua fase,yaitu :
a. Fase I,gejala –gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin di lepaskan.Gejala awal ini merupakan peringatan karna saat itu pasien masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.
b. Fase II,gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak , karna itu dinamakan gejala neurologis.
Penelitian pada orang bukan diabetes menunjukan adanya gangguan fungsi otak yang lebih awal dari Fase I dan dinamakan Fungsi otak subliminal.Disamping gejala peringatan dan neurologis,kadang-kadang hipoglikemia menunjukan gejala yang tidak khas.
Kadang-kadang gejala fase adrenergic tidak muncul dan pasien langsung jatuh pada Fase gangguan fungsi otak.Terdapat dua jenis hilangnya kewaspadaan yaitu akut dan kronik.Yang akut misalnya pada pasien DMTT dengan glukosa darah terkontrol sangat ketat mendekati normal,adanya neuropati autonom pada pasien yang sudah lama menderita DM dan penggunaan bloker yang nonselektif.Kehilangan kewaspadaan yang kronik biasanya ireversibel dan dianggap merupakan komplikasi DM yang serius.
Sebagai dasar diagnosis dapat digunakan trias Whipple yaitu hipoglikemia dengan gejala-gejala saraf pusat ; kadar glukosa kurang dari 50mg% dan gejala akan menghilang dengan pemberian glukosa.
Faktor-faktor yang dap[at menimbulkan hipoglikemi berat dan berkepanjangan adalah sekresi hormon glucagon dan adrenalin ( pasien telah lama menderita DM ) ,adanya antibody terhadap insulin,blockade farmakologik,dan pemberian obat sulfonylurea.
6. Penatalaksanaan
• Glukosa darah diarahkan kekadar glukosa puasa : 120 mg/dl
• Dengan rumus 3 – 2 – 1

Hipoglikemi:
• Pisang / roti / karbohidrat lain, bila gagal
• Teh gula, bila gagal tetesi gula kental atau madu dibawah lidah.
Koma hipoglikemi:
• Injeksi glukosa 40% iv 25 ml infus glukosa 10%, bila belum sadar dapat diulang setiap ½ jam sampai sadar (maksimum 6 x) bila gagal
• Injeksi efedrin bila tidak ada kontra indikasi jantung dll 25 – 50 mg atau injeksi glukagon 1 mg/im, setelah gula darah stabil, infus glukosa 10% dilepas bertahap dengan glukosa 5% stop.
7. Fokus Pengkajian
1. Data dasar yang perlu dikaji adalah :
a. Keluhan utama : sering tidak jelas tetapi bisanya simptomatis, dan lebih sering hipoglikemi merupakan diagnose sekunder yang menyertai keluhan lain sebelumnya seperti asfiksia, kejang, sepsis.
b. Riwayat :
• ANC
• Perinatal
• Post natal
• Imunisasi
• Diabetes melitus pada orang tua/ keluarga
• Pemakaian parenteral nutrition
• Sepsis
• Enteral feeding
• Pemakaian Corticosteroid therapy
• Ibu yang memakai atau ketergantungan narkotika
• Kanker
2. Data focus
a. Data Subyektif:
• Sering masuk dengan keluhan yang tidak jelas
• Keluarga mengeluh bayinya keluar banyaj keringat dingin
• Rasa lapar (bayi sering nangis)
• Nyeri kepala
• Sering menguap
• Irritabel
b. Data obyektif:
• Parestisia pada bibir dan jari, gelisah, gugup, tremor, kejang, kaku,
• Hight—pitched cry, lemas, apatis, bingung, cyanosis, apnea, nafas cepat irreguler, keringat dingin, mata berputar-putar, menolak makan dan koma
• Plasma glukosa < 50 gr/%
3. Diagnose dan Rencana Keperawatan
1) Resiko komplikasi berhubungan dengan kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi
Rencana tindakan:
• Cek serum glukosa sebelum dan setelah makan
• Monitor : kadar glukosa, pucat, keringat dingin, kulit yang lembab
• Monitor vital sign
• Monitor kesadaran
• Monitor tanda gugup, irritabilitas
• Lakukan pemberian susu manis peroral 20 cc X 12
• Analisis kondisi lingkungan yang berpotensi menimbulkan hipoglikemi.
• Cek BB setiap hari
• Cek tanda-tanda infeksi
• Hindari terjadinya hipotermi
• Lakukan kolaborasi pemberian Dex 15 % IV
• Lakukan kolaborasi pemberian O2 1 lt – 2 lt /menit
2) Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh
Rencana tindakan:
• Lakukan prosedur perawatan tangan sebelum dan setelah tindakan
• Pastikan setiap benda yang dipakai kontak dengan bayi dalam keadaan bersih atau steril
• Cegah kontak dengan petugas atau pihak lain yang menderita infeksi saluran nafas.
• Perhatikan kondisi feces bayi
• Anjurkan keluarga agar mengikuti prosedur septik aseptik.
• Berikan antibiotik sebagai profolaksis sesuai dengan order.
• Lakukan pemeriksaan DL, UL, FL secara teratur.
3) Resiko Ggn Keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan pengeluaran keringat
• Cek intake dan output
• Berikan cairan sesuai dengan kebutuhan bayi /kg BB/24 jam
• Cek turgor kulit bayi
• Kaji intoleransi minum bayi
• Jika mengisap sudah baik anjurkan pemberian ASI
4) Keterbatasan gerak dan aktivitas berhubungan dengan hipoglikemi pada otot
• Bantu pemenihan kebutuhan sehari-hari
• Lakukan fisiotherapi
B. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
1. Pengkajian
1) Airway
Tidak ada gangguan
2) Breathing
Merasa kekurangan oksige dan napas tersengal-sengal
3) Circulation
Kebas,kesemutan di bagian ekstremitas,keringat dingin,hipotermi, dan penurunan kesadaran
2. Diagnosa dan Intervensi
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK
• Tanda – tanda vital dalam batas normal
• Tidak adanya penurunan kesadaran
Intervensi
a. Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK
b. Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart
c. Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
d. Pantau tekanan darah
e. Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan penglihatan kabur
f. Pantau suhu lingkungan
g. Pantau intake, output, turgor
h. Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
i. Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
j. tinggikan kepala 15-45 derajat
k. Berikan oksigen sesuai indikasi
l. Berikan obat sesuai indikasi
2) Resiko komplikasi berhubungan dengan kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi
Rencana tindakan:
• Cek serum glukosa sebelum dan setelah makan
• Monitor : kadar glukosa, pucat, keringat dingin, kulit yang lembab
• Monitor vital sign
• Monitor kesadaran
• Monitor tanda gugup, irritabilitas
• Lakukan pemberian susu manis peroral 20 cc X 12
• Analisis kondisi lingkungan yang berpotensi menimbulkan hipoglikemi.
• Cek BB setiap hari
• Cek tanda-tanda infeksi
• Hindari terjadinya hipotermi
• Lakukan kolaborasi pemberian Dex 15 % IV
• Lakukan kolaborasi pemberian O2 1 lt – 2 lt /menit
3) Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
Kriteria hasil:
• RR 16-24 x permenit
• Ekspansi dada normal
• Sesak nafas hilang / berkurang
• Tidak suara nafas abnormal
Intervensi :
• Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
• Auskultasi bunyi nafas.
• Pantau penurunan bunyi nafas.
• Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
• Berikan instruksi untuk latihan nafas dalaM
• Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
• Berikan oksigenasi sesuai advis
• Berikan obat sesuai indikasi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl. Tanda dan gejala hipoglikemia terdiri dari Fase I,gejala –gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin di lepaskan.Gejala awal ini merupakan peringatan karna saat itu pasien masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.Fase II,gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak , karna itu dinamakan gejala neurologis.
Pengkajian khusus paha hipoglikemia adalah Airway: Tidak ada gangguan; Breathing: Merasa kekurangan oksige dan napas tersengal-sengal dan Circulation: Kebas,kesemutan di bagian ekstremitas,keringat dingin,hipotermi, dan penurunan kesadaran

B. Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap/protokol yang dapat digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk klien.














DAFTAR PUSTAKA

Carpenito (1997), L.J Nursing Diagnosis, Lippincott , New Yor
Marino (1991), ICU Book, Lea & Febiger, London
Nelson (1993), Ilmu Kesehatan Anak, EGC, Jakarta
Suparman (1988), Ilmu Penyakit Dalam , Universitas Indonesia, Jakarta.
Wong and Whaley (1996) Peiatric Nursing ; Clinical Manual, Morsby, Philadelpia
Waspadji S. Kegawatan pada diabetes melitus. Dalam: Prosiding simposium: penatalaksanaan kedaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000. hal.83-4.